Realisasi Kebijakan
Smelter pengolahan pemurnian greenstone menjadi zeolite milik PT PMM |
Pelaku Industri Tunggu Realisasi Kebijakan Ekspor Impor
Dampak kebijakan ekspor impor diperkirakan terasa 6 s/d 9 bulan mendatang.
Pelaku
industri menunggu realisasi dua kebijakan yang diterbitkan oleh
pemerintah. Dua kebijakan tersebut terkait dengan ekspor impor yang
bertujuan untuk mengurangi defisit transaksi berjalan. Senior Economist
Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan mengatakan, efektifitas kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah akan memakan waktu.
“Dampaknya akan terasa enam sampai sembilan bulan ke depan,” kata Fauzi di Jakarta, Rabu (11/12).
Menurutnya,
jika pemerintah ingin menurunkan impor Bahan Bakar Minyak (BBM)
bersubsidi, maka tinggal menaikkan harganya. Namun, persoalan ini
menjadi tantangan besar di tengah berlangsungnya tahun pemilu. Atas
dasar itu, pemerintah mencari jalan lain dengan mengeluarkan paket
insentif yang tingkat efektifitasnya terbatas.
“Kalau yang kami lihat yang membuat naik pesat (defisit transaksi berjalan, red) adalah impor BBM,” kata Fauzi.
Ia
memperkirakan, tahun depan defisit transaksi berjalan masih akan
terjadi. Namun untuk angkanya, kata Fauzi, akan lebih besar defisit
transaksi berjalan di tahun 2013 ketimbang tahun 2014. Menurutnya, lebih
kecil defisit transaksi berjalan di tahun 2014 lebih dikarenakan
terjadi pada semseter II-2014.
“Tahun
ini kita perkirakan diatas AS$32 miliar, tahun depan kita perkirakan
AS$29 miliar. Dan penurunannya itu lebih terjadi di semester II-2014,”
katanya.
Defisitnya
transaksi berjalan, kata Fauzi, lebih dikarenakan masalah struktural.
Dimana 60 persen permintaan ekspor dari Indonesia terkait komoditas
energi. Sedangkan harga komoditas energi dalam dua atau tiga tahun
terakhir terus menurun. Bukan hanya itu, angka impor terus meningkat
seiring pertumbuhan ekonomi yang besar.
Atas
dasar itu, jika harga komoditas tak menunjukkan kenaikan, maka defisit
Indonesia hanya bisa diredam dengan cara menekan impor. Salah satunya
melalui paket kebijakan yang beberapa waktu lalu dikeluarkan pemerintah
atau melalui kenaikan harga BBM. “Tapi itu (kenaikan harga BBM) tidak
mungkin dilakukan di tahun politik, sehingga yang dilakukan pertumbuhan
terus turun,” katanya.
Sebelumnya,
Pemerintah menyiapkan dua regulasi untuk mengatasi defisit transaksi
berjalan yang terjadi sepanjang tahun ini. Defisit transaksi berjalan
disebabkan oleh besarnya total impor dibanding ekspor. Kedua yang
disiapkan pemerintah itu adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yakni
tentang Pengenaan PPh Pasal 22 Atas Impor Barang Tertentu dan Fasilitas
Pembebasan dan Pengembalian Bea Masuk atas Impor untuk Tujuan Ekspor
(KITE).
Menteri
Keuangan Chatib Basri mengatakan, dua regulasi tersebut merupakan
bagian dari tindak lanjut regulasi yang telah dikeluarkan sebelumnya
sebagai bagian dari kebijakan ekonomi untuk memberikan stimulus
nasional. Kali ini, kebijakan tersebut diperlukan untuk merespon tekanan
pada neraca perdagangan dengan cara meredam impor barang-barang
tertentu.
“Ini membuat ekspor impor menjadi simpel,” kata Chatib di Kantornya di Jakarta, Senin (9/12).
Adapun
pokok dari kebijakan tersebut adalah, menyesuaikan tarif pemungutan PPh
22 atas impor barang-barang tertentu dari semulau 2,5 persen menjadi
7,5 persen. Kriteria impor barang tertentu yang menjadi sasaran
pengenaan tarif PPh 22 impor yang lebih tinggi adalah bukan barang yang
digunakan untuk industri dalam negeri untuk menjaga produksitvitas
industri dalam negeri, dan merupakan barang konsumtif dengan nilai impor
yang signifikan dan tidak memberikan dampak besar kepada inflasi.